Kamis, Januari 05, 2012

Ketika TARBIYAH (kita) bermasalah

Siapa sih yang tidak kenal aktivitas tarbiyah dan para kadernya saat ini? Tidaklah sulit mengenali mereka, baik dari segi penampilan orang-orangnya maupun wadah yang menaunginya. Barangkali istilah liqo dan halaqoh sudah tidak asing lagi bagi telinga sebagian besar orang, meski bukan melulu istilah satu pihak tapi setidaknya istilah tersebut lebih akrab melekat pada teman-teman yang berkecimpung dengan aktivitas tarbiyah.

Pendeknya dunia tarbiyah adalah sebuah dunia yang tenang dan damai, penuh idealisme dengan pikiran-pikiran yang jernih dan jiwa-jiwa yang ikhlas. Sebuah dunia yang putih dengan nuansa spiritual dan ubudiyah yang kental, dimasjid-masjid dan dimajelis-majelis ilmu yang penuh cahaya dan rahmat, tempat siapapun yang ingin mensucikan jiwa, menambah ilmu, bersaudara dan bekerja sama.

Seakan semua bentuk kebaikan saat ini lebih 'pas' dan menjadi trade mark mereka. Saya memastikan diri sebagai orang yang tidak gampang terpesona dengan semangat 'akrobatik' yang kerap berkobar didada mereka yang sering mendekripsikan diri sebagai pembela Islam dan istilah-istilah heroik lainnya.
Kenyataan sering kali membuktikan bahwa semangat ruhiyah dan pembelaan tidak selalu berjalan paralel dengan tingkat kepahaman seseorang. Itulah sebabnya Hasan al Banna menempatkan konsep al fahmu yang bermakna kepahaman seseorang pada point nomor satu dalam rumusan 'arkanul baiatnya'. Bahwa perjalanan jama’ah ini sangat panjang. Untuk hidup di dalamnya tidak saja dibutuhkan semangat dan ghiroh keislaman namun juga kepahamanan tentang arah kemana kita akan membangun Islam dalam bingkai kesolidan berjama’ah, begitulah kira-kira maknanya. Jauh sebelum itu, Umar bin Khothob pernah menolak kesaksian seseorang hanya karena saksi tersebut sering melihat terdakwa sering beribadah di masjid. Bukankah itu kata lain dari "don't judge the book by it cover?”
Bukan tanpa alasan, coba tengoklah bagaimana sikap Khawarij terhadap pembagian ghanimah Rasulullah. Bukankah itu bibit awal pembangkangan terhadap qiyadah (pimpinan)? Bani Tamim sebagai cikal bakal khawarij adalah kabilah yang sangat antusias terhadap Islam. Ruhiyah mereka bahkan sulit tertandingi. Kesholihan dan kezuhudan mereka ibarat menu yang tak pernah lepas dari kesehariannya. Tanpa bekal kepahaman, hanya akan melahirkan kekerdilan hingga Rasulullahpun mengibaratkan mereka sebagai anak panah yang lepas dari busurnya.

Point kepahaman yang ingin kita garis bawahi disini adalah fokus pada masalah kehidupan berjama'ah atau yang disebut dengan al Jama'ah. Ketika kita merelakan diri untuk berjama’ah dalam memecahkan setiap masalah keummatan pada saat itu pula kita harus menyadari bahwa jenak-jenak kehidupan berjamaah selalu ada masalah. Suka atau tidak, kenyataan tentang beda pandangan, adu pendapat dan sebagainya kerap sulit dihindarkan.
Sikap kstaria sangat diperlukan disini. Setiap masalah yang muncul bukan untuk dihindari, lari dari kenyataan kemudian uzlah (menyendiri). Itu bukanlah solusi cerdas yang dicontohkan Rasulullah. Yang paling bagus adalah menata bagaimana kita mensikapi setiap masalah yang terjadi. Maka yang harus segera dipahami adalah jama'ah tarbiyah bukanlah representasi dari kumpulan orang-orang suci yang bebas dari segala bentuk masalah, kesalahan dan kealpaan. Setiap orang punya potensi melakukan kesalahan, karenanya Rasulullah menegaskan,"Tiap anak adam pasti berbuat salah dan sebaik-baik orang yang berbuat salah adalah mereka yang bertaubat"
Kadang yang tidak segera dipahami adalah sikap over estimate seseorang terhadap orang-orang tarbiyah yang denganya sudah cukup menghapus sebagian memori bahwa mereka juga manusia biasa yang tak bebas dari kesalahan. Doktrin tentang kesholihan membuat sebagian besar orang tak percaya bahwa ternyata ada aktivis tarbiyah yang bermasalah. Telunjuk jatuh dan palu pun diketuk, kesalahan semata tertuju kepada mereka yang telah tertarbiyah namun bermasalah. Sikap inilah yang kemudian berpotensi melahirkan kekecewaan. Dan pelarian pun menjadi teman akrab mereka yang kecewa. Dia lupa bahwa dirinyapun pernah berbuat dan berperilaku seperti bahkan lebih dari apa yang dikecewakannya. Inilah salah satu potret semangat keislaman yang meluap-luap namun tak kunjung usai menemui masa dewasanya
Memandang setiap masalah dengan kacamata masalah adalah masalah itu sendiri. Tidak hadir liqo masalah, tidak bayar infaq masalah, tidak mengikuti putusan murrobi masalah, tidak memenuhi tuntutan kerja sesuai kriteria masalah, tidak menikah sesuai kriteria murrobi juga masalah. Memang benar semua hal diatas punya potensi masalah namun setelah diselami dan didalami bisa jadi tidak ada masalah satupun yang dijumpai.

Lebih tegas lagi, memandang setiap persoalan melulu dengan kacamata masalah adalah tanda ketidakdewasaan untuk tidak menyebut sebagai kepicikan. Bukankah menjadi PNS dimasa ta'sis juga pernah dianggap masalah? Bukankah punya isteri yang berkerja dulu juga bermasalah? Dan sayapun pernah mengalami masa-masa itu.
Yang lebih parah dari itu, jika masalah dan bukan masalah diukur dan ditimbang dengan frame selera bukan syar'iah. Waduh! jika ini menjadi wabah tentu akan sangat rumit dan tak bisa dihitung akibat non materialnya, sangat tak terhingga. Karena orang yang benar secara syar'iah bisa menjadi masalah dan orang yang salah secara syari'ah bisa menjadi benar. Dan bisa jadi seorang murrobi sedemikan rupa membela binaannya hanya berdasar pada nilai ‘contrengan’ tiap pekannya. Padahal sudah terang pelanggaran syar'iah yang telah dilakukannya.
Kehidupan berjamaah adalah kehidupan yang penuh dengan keindahan, kesejukan dan kedamaian. Jika wabah kalimat bermasalah sudah menjangkiti hampir seluruh anggotanya, tak ayal lagi akan membuat orang tidak lagi betah hidup didalamnya. Kerindangan yang dirindukan setiap orang berubah menjadi kegersangan. Berjamaah yang seharusnya melahirkan solusi berubah menjadi bencana. Dan setiap individu yang tak lagi merasakan kenyamanan pastilah ingin segera berlepas diri.
Tentu kita tidak menginginkan semua itu terjadi. Oleh karenanya mulai saat ini mari kita bangun tradisi baru, 'memandang setiap masalah dengan kacamata solusi dan menyelesaikan masalah tanpa masalah'. Lihatlah amarah para sahabat ketika melihat orang badui yang kencing dalam masjid? Tetapi Rasulullah punya cara pandang lain. Memandang masalah dengan solusi, kencing bisa ditanggulangi dan masalah tuntas dengan do'a badui untuk Rasulullah. Begitulah seharusnya kita meneladani.

Semangat menyelesaikan masalah sudah seharusnya menjadi sesuatu yang 'inhern' disetiap dada anggota jama'ah tarbiyah. Karenanya memandang banyak orang bermasalah dan hanya dirinya saja yang benar adalah penyakit kronik yang harus segera disadari. Jika tidak maka semangat memojokkan dan mempermalukan akan terus mewabah, bahkan seseorang rela berbohong demi kepuasan. Lahirlah argumentasi fantastis yang seakan tak perlu di cek ulang. Maka sempurnalah derita orang yang telah dianggap bermasalah karena menjadi kosumsi negatif anggota jama’ah tarbiyah lainnya secara masif. Sedih kan?

Ironinya meski sadar kalimat masalah bakal menuai prahara tetapi betapa kita selalu tergoda untuk mengungkapkannya, tanpa beban?. Ia meluncur begitu saja dari pikiran dan lisan yang seharusnya bisa dijaga. Apatah lagi jika ia keluar dari lisan para pembesar, berat dan sangat menenggelamkan. Haruskah korban berjatuhan karena sebuah kalimat bermasalah yang semestinya kita menutupnya rapat-rapat? Dan sangat disayangkan jika yang menjadi korban adalah mereka yang punya potensi bagus, talenta dan skill yang mumpuni untuk turut menyelesaikan masalah keummatan. Na'udzubillah.

Sumber : Fathurrahman Al Fath